Judul di atas seperti pertanda orang yang frustasi. Seperti orang yang putus asa. Tapi bukan keputus-asaan secara pribadi -itu yang agak menggembirakan-,
tapi ketakutan apa yang tengah terjadi di Indonesia dalam 6 bulan
belakangan ini. Meski bila menengok dari ketinggian tempat saya bekerja,
seakan kehidupan berjalan lancar-lancar saja. Lalu-lintas yang macet,
gedung-gedung tinggi berbaur dengan rumah dengan genteng yang kusam
serta sesekali terdengar raungan sirene dan suara helicopter melintas di
cuaca yang sedikit kelam.
Mari kita mencoba untuk mengingat-ingat
kembali apa yang menarik dari kondisi Indonesia dalam waktu Oktober 2014
sampai tulisan ini buat, 10 Maret 2015. Hal yang mudah diingat adalah
‘pesta’ kemenangan demokrasi pada tanggal 20 Oktober 2014. Seluruh
elemen masyarakat tumpah ruah di sepanjang Semanggi hingga Monas.
Pemilih Jokowi atau pemilih Prabowo harus berani jujur mengatakan bahwa
suasana di tengah kota Jakarta itu yang paling mencuat melalui media
massa. Menjalar hingga ke hamper sudut kota-kota besar di Indonesia.
Suka atau tidak, pemilih Prabowo bisa merasakan suasana gembira
‘Indonesia’ itu meski dengan rasa sebal sekalipun. Indonesia yang
beragam menampakan kebesarannya sebagai sebuah bangsa dalam
berdemokrasi. Ada perang kata dan saling ejek melalui gambar-gambar
satir, itu tidak mengurangi suasana kegembiraan. Kala itu ada harapan
bahwa Indonesia akan menjadi bangsa yang lebih baik ke depan.
Ya..harapan adalah sebuah mimpi yang dapat menjadi hidup lebih optimis.
Tapi sayang, itulah kegembiraan dan
optimis terbesar dan terakhir dalam 6 bulan belakangan ini. Sejak itu,
selang berganti tanda-tanda harapan itu dikerdilkan dengan berbagai
peristiwa politik dan ekonomi yang kian memendamkam harapan Indonesia
seperti yang dimpikan.
Berbagai peristiwa yang sulit diterima nurani justru bergulir tanpa putus. Seingatan saya, ada :
- Kasus perebutan ‘kekuasaan’ di Parlemen : KIH v KMP, mulai dari aksi walk out hingga banting meja.
- Pemilihan menteri-menteri yang tarik-ulur hingga pelantikan yang tidak mencerminkan kabinet yang firm.
- Penunjukan Jaksa Agung yang juga penuh dengan politisasi. Meski jabatan Jaksa Agung itu bersifat politis, tapi sosok yang terpilih kurang memuaskan dalam indepensi penegakan hokum.
- Harga bahan bakar minyak yang naik, kemudian sempat turun tapi kemudian naik lagi.
- Harga gas dan beras yang tiba-tiba meningkat. Bahkan beras sempat hilang di pasaran.
- Rupiah yang terus-terusan melemah terhadap mata uang dolar Amerika. Bahkan melemah terhadap mata uang ringgit Malaysia.
- Kontraversi penunjukan Komjen Budi Gunawan sebagai (calon) Kapolri yang kemudian melahirkan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi beserta elemen-elemen masyarakat yang anti-korupsi hingga kini.
- Partai politik yang saling berkelahi di internal : Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan.
- Perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta dengan DRPD Jakarta yang mengancam pembangunan fisik dan rohani masyarakat Jakarta.
- Harga-harga komoditi yang terus merangkak naik.
Itu yang saat ini terjadi di Indonesia.
Meski kisruh politik antara Gub. DKI Ahok dengan anggota DRPD Jakarta
cuma bersifat lokal, namun memiliki efek nasional mengingat Jakarta
sebagai Ibukota Indonesia memiliki aura bersifat nasional.
Saat ini ekonomi juga bisa semakin
memburuk. Hanya karena konsumsi nasional yang besar, membuat ekonomi
sedikit bergerak. Namun itu perlu diwaspadai karena dengan semakin
melemahnya mata uang rupiah terhadap dolar dan kemungkinan harga minyak
dunia naik - akibat konstalasi politik dan ekonomi Rusia - dapat membuat
pemerintah kembali menaikan BBM, yang pasti akan mempengaruhi
harga-harga komoditas dan akan mempengaruhi daya beli masyarakat.
Ketika perekonomian semakin berat,
sementara politik semakin tidak menentu,tentu kita berharap pemerintahan
Jokowi - JK segera melakukan tindakan-tindakan nyata. Bukan cuma
melakukan komentar bersifat asumsi dan sekedar menenangkan masyarakat -
padahal jangan-jangan Jokowi - JK dan para menteri sedang kebingungan
juga untuk membuat kebijakan yang firm dan konsisten.
Jika tidak ada langkah-langkah dan
kebijakan kuat, rupiah bisa melemah hingga ke Rp. 13.500 per US$ 1 dan
ini akan semakin membahayakan kekuatan masyarakat. Tidak saja dari sisi
ekonomi, tetapi juga kekuatan atas kepercayaan masyarakat terhadap
Pemerintah Jokowi - JK.
Hanya orang-orang tak bernurani yang
menutup mata terhadap potensi melemahnya Bangsa dan Indonesia. Tapi saya
selalu mengobarkan optimistis - sekaligus untuk menghibur diri, bahwa
pejabat dan tokoh-tokoh politik dan ekonomi Negara ini masih memiliki
hati nurani. Karena cuma Tuhan dan nurani saja yang sesungguhnya tidak
bisa dibohongi oleh akal sehat dan hati kecil kita.
Semoga Allah SWT tidak memberi cobaan
berat kepada pemimpin dan tokoh-tokoh bangsa ini. Tapi justru member
kejernihan pemikiran, kelapangan hati dan keteguhan iman sehingga dapat
mensejahterakan, memakmurkan dan menjayakan Bangsa Indonesia. Aamiin Ya
Rabb..
Dan semoga ini Cuma kekhawatiran saya saja…(Andi Chairil's Blog).-
0 komentar: