Mengandalkan Rp 600.000 per bulan dari
beasiswa, dia mampu membeli laptop seharga 6 juta rupiah. Laptop itu dia
beli dengan mencicil Rp 500.000 per bulan selama satu tahun. Yang ada
di benaknya saat itu hanyalah belajar, belajar, dan belajar. Tidak
peduli uang yang tersisa untuk kebutuhan sehari-hari hanya Rp 100.000.
Siti memutar otak supaya uang berwarna
merah yang tinggal selembar itu bisa cukup untuk tiga puluh hari.
"Akhirnya saya cuma beli lauk Rp 3.000 buat makan sehari. Nasinya kan
gratis, disediakan sama asrama," ungkap Siti.
.
Soal transportasi ke kampus, mahasiswi
20 tahun ini lebih memilih jalan kaki. Dia tak menggubris jauhnya jalan
yang harus dia tempuh untuk mencapai kampus. Lagi-lagi Siti lebih
menitikberatkan pendidikan dari pada hidup ongkang-ongkang. "Pokoknya
harus punya laptop dulu buat belajar. Apalagi kan saya anak Teknik, jadi
butuh banget laptop," sahut Siti.
Gadis berjilbab ini mengaku mendapat
'ilmu prihatin' itu dari ibunya. Dia tak peduli kehidupan 'wah'
teman-temannya. Katakanlah, kalau dengan uang Rp 50.000 teman-temannya
bisa sekali makan di restoran, dengan nominal yang sama Siti bisa
menggunakannya untuk makan dan memenuhi kebutuhan lainnya.
Kendati hidup merantau dalam
kesederhanaan bahkan cenderung memprihatinkan, Siti justru berprestasi.
Di fakultas yang terkenal dengan dosen-dosen killer, IPK Siti berhasil
menembus angka 3. "Padahal, IPK 3 itu langka banget buat anak Teknik
Nuklir," cetusnya.
Walaupun ber-IPK tinggi, Siti tetap
mampu mengatur ritme perkuliahannya dengan baik. Alhasil, impiannya
untuk menjadi Sarjana Teknik Nuklir sebentar lagi tercapai tepat pada
waktunya, yaitu pada 2016 nanti.
0 komentar: